Rex Regum Qeon dikenal sebagai salah satu tim esports terbesar di Indonesia. RRQ berhasil membentuk organisasi yang kapabel dan sangat besar. Bahkan RRQ bisa dibilang punya kualitas kelas atas di beberapa divisi.

Jika Anda mengikuti akun resmi Instageam atau media sosial lain RRQ, pasti kita melihat ada saja divisi mereka yang memenangi sebuah turnamen esports.

ONE Esports pun penasaran bagaimana cerita serta perjuangan tim ini ketika dibentuk. Tak ayal, kami secara khusus menemui CEO RRQ, Andrian Pauline, untuk mengulik mereka lebih dalam.

AP menjadi salah satu sosok yang membangun RRQ bersama owner, Riki Suliawan. Kepada ONE Esports, AP mengungkapkan bahwa RRQ terbentuk hanya karena satu hal simpel, menonton turnamen Dota 2 terbesar yakni The International 2013.



“Sebenarnya startnya as a hobby ya. Saya dan pak Ricky (owner) sudah kenal cukup lama. Lebih ke arah passion sih. Hubungan kami juga awalnya karena game gitu. Saat itu main CS bareng. Sehingga ketika dia balik dari Amerika Serikat menyelesaikan studi, dia ajak saya untuk bangun sebagai game publishing gitu,” ujarnya.

“Namun pada 2013 ketika kita nonton bareng TI3, nyeletuk aja sebenarnya ‘bikin tim yuk’. Karena saya kan punya pengalaman kurang lebih 15 tahun di esports. Balik ketika saya masih jadi pemain terus jadi manajer tim yang dulu kalau menang paling cuma dapat Rp500 ribu, vga, atau mouse.”

“Tapi kan esports dulu ga seperti sekarang. Jadi intinya karena TI3 dan kata-kata buat tim yuk, kami create tim Dota 2. Perjuangannya, mungkin karena awalnya dianggap sekadar hobi jadi benar-benar uang dari pure pribadi. Karena kami harus menggaji, memberi tempat tinggal, komputer, dll. Jadi startnya RRQ bukan sebagai tim profesional, tapi as a hobby. Namun, lambat laun semakin besar dan makin banyak fansnya.”

“Titik balik di 2017 karena pada saat itulah saya membuat tim lain selain Dota. Yakni Mobile Legends, Point Blank, dan PUBG PC. Jadi ketika kita ekspan ke divisi game lain, pas di tahun yang sama Mobile Legends dan mobile gaming lagi booming-boomingnya. Sehingga dalam sekejap subscriber yang dulu hanya 5000-an bisa naik ke ratusan ribu and then mencapai 1 juta hanya dalam setahun.”

“Terlepas dari kami juga punya tim yang bagus dan menang, tapi turning pointnya di situ. Ketika kami sadar tak bisa punya tim Dota 2 saja. Naik turun di 2013-2017 itu banyak. Kami gonta-ganti pemain dan pelatih. Saat itu kami belum punya clear vision. Jadi ketika result ga terlalu bagus dan tak sesuai ekspektasi yaudah. Saat fans segitu aja, yaudah. Saat sponsor cuma mau kasih barang-barang. yaudah. Jadi belum dianggap serius. Belum ada treatment profesional karena hanya dianggap hobi. Tapi setelah 2017 beda,” pungkas dia.

BACA JUGA: 31 juta orang di Indonesia main Mobile Legends